Kita sering dengar pendekatan Kursi Disiplin dan Pojok Refleksi untuk anak-anak yang melakukan pelanggaran / perbuatan tidak baik.
Contoh:
Lalala anak perempuan usia 10 tahun mengambil dan merusak barang Lilili teman sekelasnya secara diam-diam. Ketika perbuatannya diketahui, Lalala diminta untuk duduk di Kursi Disiplin di sebuah Pojok Refleksi sampai sekolah usai agar dapat merenungkan perbuatannya dan menyesalinya. TANPA percakapan sama sekali.
Setelah selesai waktunya, Lalala ditanya:
Q: “Kamu sudah tahu sekarang apa salahmu sehingga harus duduk di Kursi Disiplin dan di Pojok Refleksi?”
A: Kemungkinan besar Lalala akan menjawab, “Ya”, dan menyebutkan perbuatannya.
Q: “Apakah kamu menyesal?”
A: Kemungkinan besar Lalala akan menjawab lagi, “Ya”.
Q: “Apakah kamu akan mengulanginya lagi?
A: Lalala menjawab, “Tidak.”
Lalu Lalala diiminta untuk kembali ke tempat duduknya dan masalah ‘selesai’.
BENARKAH masalah Lalala sudah selesai dan Lalala belajar sesuatu dari kejadian tersebut?
Hmmm, saya tidak yakin. Malah mungkin Lalala hanya mengumpat dalam hati selama di Kursi Disiplin dan di Pojok Refleksi. Bahkan hasilnya Lalala semakin membenci Lilili. Atau, Lalala hanya asik bermain sendiri selama di sana.
Kursi Disiplin, Pojok Refleksi tidak akan efektif dan tidak bisa mendidik anak kita tanpa adanya PERCAKAPAN REFLEKTIF.
BUKAN Kursi Disiplin dan Pojok Refleksi yang mendidik dan mengubah anak kita. PERCAKAPAN REFLEKTIF lah yang membantu anak belajar sesuatu. Menyadari apa yang keliru sehingga mendorong dia melakukan itu, memahami konsekuensi dari perbuatannya terhadap diri sendiri, teman, keluarga, kelas dan sekolahnya. Percakapan reflektif juga membantu mengubah cara berpikir anak sehingga pada akhirnya perilaku pun berubah.
Sebuah PROSES EDUKASI melalui PERCAKAPAN REFLEKTIF.
Salam Pendidikan,
Hanlie Muliani