Trauma pada anak tidak selalu berasal dari peristiwa besar atau kejadian ekstrim seperti kekerasan fisik atau kehilangan orang yang dicintai. Kadang, hal-hal sederhana yang tampak sepele bagi orang dewasa justru bisa berdampak besar pada perkembangan mental dan emosional anak.
Sebagai orang tua atau orang dewasa yang berinteraksi dengan anak-anak, kita harus lebih peka terhadap apa yang kita katakan dan lakukan. Beberapa hal yang dianggap “biasa” ternyata bisa meninggalkan luka psikologis yang mendalam. Nah, apa saja hal-hal sederhana yang bisa menyebabkan trauma pada anak? Yuk, kita bahas lebih dalam!
1. Dihina atau Direndahkan di Depan Orang Lain
Pernah nggak tanpa sadar membandingkan anak dengan temannya atau saudara kandungnya? Kata-kata seperti “Kok nggak bisa kayak si A?” atau “Kamu ini lambat banget sih!” bisa sangat menyakitkan bagi anak.
Walaupun tujuannya mungkin untuk memotivasi, cara ini bisa membuat anak merasa tidak cukup baik dan mengembangkan rasa rendah diri. Apalagi jika penghinaan terjadi di depan orang lain. Anak bisa merasa malu, tidak berharga, dan takut untuk mencoba hal baru karena takut gagal dan dihakimi.
Solusi: Alih-alih membandingkan, berikan dorongan positif seperti, “Kamu sudah berusaha, yuk kita coba cara lain supaya lebih baik lagi.”
2. Dibentak Secara Berlebihan
Membentak anak mungkin terasa seperti solusi instan untuk mendisiplinkan mereka, tapi dampaknya bisa sangat merusak mental anak.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa anak yang sering dibentak mengalami kecemasan berlebih, takut berbicara, dan sulit membangun kepercayaan diri. Dalam beberapa kasus, anak juga bisa tumbuh menjadi pribadi yang agresif atau justru terlalu penurut karena takut mengambil keputusan sendiri.
Solusi: Jika anak melakukan kesalahan, coba tarik napas dalam dan gunakan suara yang tegas tapi tetap tenang. Anak akan lebih memahami jika diberikan penjelasan tanpa teriakan.
3. Tidak Dihargai Pendapatnya
Banyak orang tua menganggap bahwa anak-anak tidak tahu apa-apa dan tidak perlu didengarkan. Misalnya, saat anak ingin menyampaikan pendapat tetapi langsung dipotong dengan, “Ah, kamu anak kecil, nggak usah banyak omong!”
Ketika anak merasa suaranya tidak penting, mereka bisa tumbuh dengan rasa tidak percaya diri dan kesulitan mengekspresikan diri di kemudian hari. Mereka juga bisa tumbuh dengan perasaan bahwa pendapat mereka tidak berharga, yang dapat berdampak pada hubungan sosial dan karier di masa depan.
Solusi: Dengarkan anak dengan sungguh-sungguh. Meskipun pendapatnya mungkin belum sepenuhnya matang, hargai usahanya untuk berbicara dan beri tanggapan yang positif.
4. Ditinggal atau Diabaikan Saat Sedang Membutuhkan
Kadang, orang tua terlalu sibuk hingga tidak menyadari bahwa anak mereka butuh perhatian. Contoh sederhana seperti tidak mendengarkan saat anak berbicara atau selalu sibuk dengan ponsel saat anak bercerita bisa membuat mereka merasa tidak penting.
Dalam jangka panjang, anak bisa mengalami emotional neglect atau merasa bahwa kebutuhan emosional mereka tidak pernah dipenuhi. Ini bisa berdampak pada hubungan mereka dengan orang lain di masa depan, membuat mereka sulit percaya dan takut ditinggalkan.
Solusi: Sediakan waktu berkualitas dengan anak. Tatap mata mereka saat berbicara, letakkan ponsel, dan tunjukkan bahwa Anda benar-benar mendengarkan.

5. Dipaksa untuk Menjadi “Sempurna”
Banyak anak mengalami tekanan besar dari orang tua yang terlalu menuntut mereka untuk selalu mendapatkan nilai bagus, selalu berperilaku sempurna, atau selalu sukses dalam segala hal.
Tuntutan yang berlebihan bisa menyebabkan anak mengalami stres, kecemasan berlebih, bahkan depresi. Mereka juga bisa tumbuh menjadi seseorang yang terlalu perfeksionis dan selalu merasa tidak cukup baik, bahkan saat mereka sudah berusaha keras.
Solusi: Dukung usaha anak, bukan hanya hasil akhirnya. Beri apresiasi untuk proses yang mereka lalui, bukan hanya keberhasilannya.
6. Sering Diolok-olok dengan Alasan “Bercanda”
Candaan yang bagi orang dewasa terasa biasa saja bisa meninggalkan luka dalam bagi anak. Contoh:
- “Kamu kok gendutan sih?”
- “Aduh, rambut kamu kayak sapu!”
- “Cengeng banget, dasar anak manja!”
Meskipun tidak bermaksud menyakiti, anak bisa menyimpan kata-kata tersebut dalam pikirannya dan mulai merasa tidak percaya diri. Dalam jangka panjang, mereka bisa mengalami masalah body image atau merasa tidak cukup baik untuk diterima orang lain.
Solusi: Bercanda itu boleh, tapi pastikan tidak sampai menyakiti perasaan anak. Gunakan kata-kata yang membangun kepercayaan diri mereka.
7. Tidak Dibantu Mengelola Emosi
Ketika anak menangis atau marah, banyak orang tua yang langsung menyuruh mereka diam atau mengabaikan perasaannya. “Udah, jangan lebay!” atau “Cowok kok nangis!” adalah contoh kalimat yang bisa membuat anak merasa emosi mereka tidak valid.
Jika anak tidak diajarkan cara mengelola emosinya dengan baik, mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang sulit mengungkapkan perasaan atau justru menjadi seseorang yang meledak-ledak emosinya saat dewasa.
Solusi: Bantu anak mengenali dan mengelola emosinya. Daripada menyuruh mereka diam, ajak bicara: “Aku lihat kamu marah, yuk kita cari tahu kenapa.”
Kesimpulan: Berhati-hatilah dengan Hal Kecil yang Bisa Meninggalkan Luka Besar
Trauma pada anak tidak selalu berasal dari kejadian besar. Hal-hal kecil yang terjadi berulang kali juga bisa meninggalkan luka dalam yang sulit dihapus.
Sebagai orang dewasa, kita perlu lebih sadar dan berhati-hati dalam berkata dan bertindak. Anak-anak membutuhkan lingkungan yang aman secara emosional agar bisa tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri dan bahagia.
Jadi, yuk lebih peduli dan sadar dalam berinteraksi dengan anak! Jangan sampai hal kecil yang kita anggap biasa, justru menjadi kenangan buruk yang mereka bawa hingga dewasa.
Jika Anda membutuhkan arahan untuk membimbing anak-anak Anda, Anda dapat berkonsultasi dengan seorang psikolog atau konselor profesional untuk mendapatkan dukungan dan panduan lebih lanjut. Seorang konselor yang berpengalaman dapat membantu Anda dan anak Anda dengan sesi konseling dan kerahasiaan yang terjamin.
Image Source: