Di tengah era serba cepat dan digital saat ini, kemampuan mendengarkan menjadi keterampilan yang makin langka, terutama pada anak-anak dan remaja. Banyak dari mereka yang tumbuh dengan kebiasaan ingin didengar, tetapi tidak terbiasa untuk benar-benar mendengarkan orang lain.
Fenomena ini sangat relevan dengan kisah yang diangkat dalam film JUMBO, sebuah film keluarga yang bukan hanya menyentuh emosi, tapi juga membuka mata kita akan pentingnya empati dan komunikasi dua arah, khususnya antara orang tua dan anak.
JUMBO: Film yang Mengajarkan tentang Rasa Didengar dan Didengarkan
Film JUMBO bercerita tentang hubungan antara seorang anak dan ayahnya yang tidak biasa. Tokoh utama dalam film ini merasa tidak dimengerti dan tidak pernah didengarkan, baik oleh keluarganya maupun lingkungan sekitarnya.
Konflik dalam film ini tidak hanya berkutat pada masalah anak yang “berbeda”, tapi juga tentang kurangnya ruang aman untuk anak bercerita, berekspresi, dan diterima. Anak hanya dianggap “aneh”, “kebanyakan berkhayal”, dan “sulit diatur”. Padahal, yang ia butuhkan sebenarnya hanyalah didengarkan dengan tulus.
Film ini menyampaikan pesan kuat bahwa ketika anak tidak diberi ruang untuk didengar, mereka akan menciptakan dunianya sendiri, yang kadang dianggap “bermasalah” oleh orang dewasa.
Kenapa Anak Lebih Suka Didengar, Tapi Sulit Mendengarkan?
Secara psikologis, anak-anak memang berada dalam fase perkembangan ego. Mereka lebih fokus pada perasaannya sendiri dan membutuhkan pengakuan atas identitas dan eksistensinya. Itulah kenapa banyak anak dan remaja ingin bercerita, curhat, dan merasa benar.
Namun, jika tidak diarahkan, mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang hanya ingin didengarkan, tetapi tidak mampu mendengarkan orang lain. Padahal dalam kehidupan nyata, kemampuan mendengarkan adalah kunci hubungan yang sehat, baik di keluarga, pertemanan, maupun dunia kerja kelak.
Apa Akibat Jika Anak Tidak Dibiasakan Mendengarkan?
- Sulit membangun empati – Anak tidak terbiasa memahami sudut pandang orang lain.
- Kurang peka terhadap lingkungan – Mereka hanya fokus pada kebutuhan sendiri.
- Rentan konflik – Komunikasi jadi satu arah; merasa paling benar dan enggan mengalah.
- Sulit bersosialisasi – Anak tidak mampu menjadi pendengar yang baik dalam pertemanan.
Bagaimana Cara Mengajarkan Anak untuk Mau Mendengarkan?
1. Mulai dari Orang Tua: Jadilah Contoh Nyata
Anak belajar dari apa yang mereka lihat, bukan dari apa yang mereka dengar. Maka, jika ingin anak mau mendengarkan, orang tua harus lebih dulu memberi teladan.
✔ Dengarkan cerita anak tanpa menyela.
✔ Tanggapi dengan penuh perhatian, bukan sambil bermain HP atau mengerjakan hal lain.
✔ Jangan selalu langsung memberi nasihat; dengarkan sampai selesai.
2. Latih Empati Sejak Dini
Empati adalah dasar dari kemampuan mendengarkan. Anak perlu dibiasakan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain.
✔ Saat anak bereaksi terhadap sesuatu, ajak mereka berdiskusi, “Menurut kamu, bagaimana perasaan temanmu waktu itu?”
✔ Gunakan cerita, film (seperti JUMBO), atau kejadian sehari-hari sebagai bahan refleksi.

3. Bangun Kebiasaan Dialog, Bukan Monolog
Hindari pola komunikasi satu arah, di mana orang tua hanya memberi instruksi.
✔ Libatkan anak dalam percakapan yang dua arah.
✔ Tanyakan pendapat mereka, lalu ajak mereka mendengarkan pendapat Anda.
✔ Biasakan menggunakan kalimat seperti, “Sekarang giliran kamu dengar mama ya.”
4. Berikan Feedback Saat Mereka Mendengarkan dengan Baik
Saat anak menunjukkan sikap mendengarkan dengan baik, beri pujian atau penguatan.
✔ “Terima kasih kamu sudah dengar sampai selesai.”
✔ “Ibu senang kamu mau sabar dengerin cerita adik.”
Hal ini memperkuat kebiasaan positif dan membuat anak merasa dihargai saat mendengarkan.
5. Gunakan Cerita dan Film sebagai Cermin
Film seperti JUMBO sangat tepat digunakan sebagai media untuk mengajak anak memahami perasaan “tidak didengarkan” dan dampaknya.
Ajak anak menonton dan diskusikan:
- “Menurut kamu, kenapa tokoh utama merasa kesepian?”
- “Kalau kamu jadi dia, apa yang kamu butuhkan dari orang tuamu?”
- “Pernah nggak kamu merasa nggak didengarkan?”
Dengan berdiskusi seperti ini, anak tidak merasa digurui, tapi justru diajak berpikir dan merasa.
Kesimpulan: Mendengarkan adalah Kunci Hubungan yang Sehat
Mengajarkan anak untuk menjadi pendengar yang baik sama pentingnya dengan melatih mereka untuk percaya diri dan berani bicara.
Jadi, yuk mulai hari ini, ajak anak untuk bukan hanya bicara, tetapi juga belajar mendengar dengan hati. Karena dari mendengarkan, akan tumbuh rasa peduli yang membentuk pribadi yang utuh dan matang.
Jika Anda membutuhkan arahan untuk membimbing anak-anak Anda agar mereka dapat bertumbuh dan berkembang dengan maksimal, Anda dapat berkonsultasi dengan seorang psikolog atau konselor profesional untuk mendapatkan dukungan dan panduan lebih lanjut. Seorang konselor yang berpengalaman dapat membantu Anda dan anak Anda dengan sesi konseling dan kerahasiaan yang terjamin.
Image Source :