“Korban Senyap”: Bullying yang Tak Terlihat Mata

Seringkali, perundungan di sekolah tampak hanya ketika ada insiden besar — kekerasan fisik, video viral, atau laporan media. Namun realitanya, kebanyakan korban justru mereka yang berdiri dalam diam: dirundung secara verbal, sosial, atau psikologis; jauh dari sorotan, jauh dari kamera — tapi luka dalamnya nyata.

Berdasarkan data 2024 dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), tercatat 573 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan: sekolah, madrasah, asrama, bahkan lingkungan belajar di luar sekolah. Dari jumlah tersebut, bullying menempati urutan kedua tertinggi (31 %) setelah kekerasan seksual (42 %), disusul kekerasan psikis, fisik, dan diskriminatif. 

Tapi angka ini hanyalah “puncak gunung es” — karena banyak kasus yang tak pernah dilaporkan. Banyak korban tak bersuara, atau bahkan tak menyadari bahwa yang mereka alami adalah bullying.

Sebagai pendiri pusat dukungan psikologis dan edukasi anak-orangtua, saya ingin menekankan: bullying bukan hanya soal kekerasan yang terekam kamera. Kadang ia berkompromi dengan “canda” — dan menghancurkan dari dalam.


Bagaimana Kita Kenali Bullying: Tanda dan Karakteristiknya

Menurut saya, dan sebagaimana dijelaskan dalam artikel aslinya, ada ciri khas yang bisa membedakan bullying dari konflik biasa — terutama bila kita jeli memperhatikan. 

1. Tindakan Agresif — tapi Tak Selalu Fisik

Bullying bisa muncul dalam bentuk verbal (ejekan, mengejek fisik/mental/kepribadian), sosial (mengucilkan, gosip, meniadakan kehadiran seseorang dalam pertemanan), fisik (menampar, menjambak, memukul), maupun siber. 

Misalnya, anak laki-laki yang meledek temannya dengan kata-kata kasar; atau anak perempuan yang dikucilkan, dipinggirkan, atau dijauhkan dari lingkar pertemanan. Hal-hal itu tampak sepele di mata banyak orang — tapi berdampak besar bagi korban.

2. Ketimpangan Kekuatan

Bullying bukan sekadar agresi — tapi agresi dari pihak dengan kekuatan lebih besar: bisa secara kuantitas (lebih banyak pelaku daripada korban), atau secara posisi (senior terhadap junior). Ketimpangan ini menjadikan korban sulit melawan. 

3. Tujuan Pelaku Mendapat Kepuasan — dan Pengulangan

Bullying berbeda dari konflik sekali-jadi. Pada bullying, pelaku mendapatkan kepuasan dari kekuasaan atau dominasi, dan cenderung melakukan tindakan yang sama terhadap korban berulang kali. Pengulangan ini menyiratkan bahwa perilaku itu bukan sekadar marah sekali, tapi bagian dari pola penindasan. 


Dari “Canda” ke Luka — Garis Tipis Antara Humor dan Perundungan

Salah satu hal paling kompleks dan berbahaya: banyak pelaku menyembunyikan bullying di balik kedok “canda” atau “selingan humor.” Tapi ketika korban merasa tersakiti, ketika harga dirinya diinjak — itulah saat candaan itu berubah menjadi bullying. 

Dalam pendekatan edukasi kepada anak dan remaja, kami di SOA memperkenalkan konsep “Zone of Jokes”:

  • Green Zone — canda sehat, dinikmati bersama; semua pihak nyaman dan tertawa bersama. 
  • Yellow Zone — canda masih dalam batas sopan, tapi satu pihak mulai merasa tidak nyaman. Di sinilah diperlukan sensitivitas dan empati. 
  • Red Zone — canda yang menarget seseorang secara terus-menerus, melecehkan, menjatuhkan harga diri — ini sudah melewati batas dan masuk kategori bullying. 

Anak-anak harus diajarkan bahwa “canda” punya batas. Tanpa batas itu — tanpa saling menghormati — humor bisa jadi sabuk yang membelit dan melukai.


Mengapa Banyak Korban Diam? Takut, Malu, dan Ketidakpastian Respons

Sering saya temui: korban tidak melapor — bukan karena tidak ingin, tapi karena takut, malu, atau khawatir tidak dipahami. 

  • Malu — merasa “beda”, merasa lemah, atau takut dianggap penyebab masalah. Padahal faktanya, korban sering diintimidasi oleh banyak teman — bukan satu lawan satu. 
  • Takut — takut pelaku membalas, takut lingkungan berubah, takut masalah menjadi makin besar bila dilaporkan. 
  • Respons tidak tepat dari dewasa (guru/ortu) — ketika aduan direspons dengan sepele, diabaikan, atau pihak sekolah/ortu menyepelekan masalah, korban kehilangan harapan. Sering mereka disuruh “ya sudah, namanya teman”, atau dipaksa “baik-baik saja”. 

Dalam banyak kasus, korban baru terbuka saat tekanan sudah terlalu besar — padahal luka emosional telah dalam dan sulit disembuhkan.

2149583156

Tanda-Tanda Anak Korban Bullying (yang Harus Orang Dewasa Waspadai)

Karena korban sering menyembunyikan penderitaannya, kadang kita — guru, orang tua, konselor — perlu peka terhadap tanda-tanda halus seperti: 

  • Penurunan motivasi belajar, bahkan keinginan untuk pindah sekolah
  • Prestasi akademik merosot
  • Enggan atau tidak mau berangkat sekolah; atau terlihat tidak bahagia saat hendak sekolah
  • Perubahan emosional di rumah: lebih sering sedih, murung, mudah marah
  • Mencoba menutupi luka fisik: misalnya selalu memakai jaket lengan panjang padahal cuaca panas, beralasan luka karena jatuh
  • Menghindari pertemanan, kegiatan sekolah, atau undangan untuk hang out — takut bertemu pelaku

Jika kita awasi dan tanggapi dengan empati, bukan tak mungkin kita bisa mencegah luka lebih dalam berkembang.


Bagaimana Orang Tua dan Sekolah Bisa Respons dengan Bijak

Sebagai pendiri SOA dan psikolog klinis, saya menyarankan agar orang tua dan sekolah menanggapi aduan bullying dengan cara berikut: 

  1. Dengarkan dengan sabar — tanpa menghakimi. Biarkan anak merasa didengar, merasa aman.
  2. Kumpulkan informasi dan bukti — bisa lewat wawancara teman terpercaya, saksi, atau rekaman CCTV jika ada.
  3. Libatkan sekolah dan lingkungan: guru, pihak manajemen, konselor — agar penanganan dilakukan bersama.
  4. Jangan hanya memulihkan korban — tapi juga menangani pelaku. Karena akar masalah sebenarnya pada pelaku dan dinamika lingkungan.
  5. Terapkan pendampingan psikologis (misalnya lewat pendekatan seperti terapi perilaku kognitif/CBT), baik untuk korban maupun pelaku — agar mereka paham konsekuensi dan bisa belajar empati. Di SOA, ini bagian dari layanan kami. 

Menganggap bullying sebagai “masalah anak-anak” saja tanpa respons serius adalah sebuah kekeliruan besar — yang membiarkan luka batin berkubang dalam diam.


Mengapa Kita Perlu Sistem yang Melindungi Korban dan Saksi

Satu hal penting: seringkali yang paling tahu tentang bullying di sekolah bukan guru, orang tua, atau kepala sekolah — melainkan anak-anak itu sendiri. Namun mereka sulit bersuara karena takut atau trauma. 

Karenanya, sekolah perlu membangun sistem yang membuat:

  • Korban merasa aman dan didengar
  • Saksi (bystander) merasa berani melapor — tanpa takut dibully balik

Beberapa sekolah berhasil melakukannya dengan membuka jalur pengaduan anonim, atau menetapkan “duta anti-perundungan” dari siswa yang peduli dan berempati. Ini memberi harapan bahwa setiap suara — tak peduli dari siapa — penting dan berharga. 


Kesimpulan — Mengapa Kita Harus Peduli

Bullying yang “terlihat” sering mendapat perhatian, tindakan, dan kadang viral. Tapi lebih banyak lagi yang tak terlihat: ejekan, pengucilan, intimidasi halus — yang diam-diam menghancurkan harga diri dan masa depan anak. Oleh karena itu, penting bagi kita — orang tua, pendidik, masyarakat — membuka mata, peka, dan bertanggung jawab.

Sebagai kontributor & pendiri SOA: saya percaya bahwa menghentikan perundungan bukan semata-mata melindungi korban hari ini — tapi membangun lingkungan pendidikan dan sosial di mana setiap anak bisa tumbuh dengan aman, percaya diri, dan terus merasa bahwa suaranya didengar.

Kalau kamu mau, saya bisa bantu adaptasi artikel ini ke bahasa Inggris — cocok untuk publikasi internasional SOA — atau membuat versi ringkas agar gampang di-share di media sosial. Mau saya buatkan sekarang?

Image Source :

Image by freepik

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *